PROBOLINGGO, KOMPAS.com - Busrin (48), seorang kuli pasir asal Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, divonis hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar oleh Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Jawa Timur, karena menebang pohon mangrove yang akan digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak di rumahnya.
Vonis itu dijatuhkan dalam sidang yang digelar 22 Oktober 2014 lalu dengan majelis hakim terdiri atas Putu Agus Wiranata, Maria Anita dan Hapsari Retno Widowulan.
Busrin ditangkap anggota Polair Polres Probolinggo, Bambang Budiantoni dan Avan Riado di hutan Mangrove di kampung terdakwa di Desa Pesisir pada 16 Juli 2014 lalu. Busrin tak sadar bahwa menebang pohon mangrove itu adalah perbuatan melawan hukum. Maklum, dia tak lulus pendidikan SD.
Kasus itu pun menjadi perhatian publik karena dianggap mencederai rasa keadilan terhadap masyarakat kecil. Apalagi, istri dan anak-anak Busrin merasa terpukul oleh kejadian tersebut karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
Susilowati (58), istri Busrin, kini menggantikan suaminya untuk menghidupi keluarganya sendiri, sejak Busrin mendekam di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Probolinggo. Tak tega melihat Susilowati banting tulang memenuhi kehidupan keluarganya, kerabat Busrin bergantian membantu kebutuhan sehari-hari.
Ditemui Senin (24/11/2014), Susilowati mengaku sedih dan kecewa atas vonis pengadilan tersebut. Menurut dia, hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar jauh dari rasa keadilan. Suaminya hanya menebang 3 pohon mangrove.
Sementara itu, Pejabat Humas Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Putu Agus Wiranata, menilai, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sebenarnya sudah cukup ringan karena merupakan vonis minimal.
Majelis hakim berpendapat, Busrin telah melanggar Pasal 35 huruf e,f dan g UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-pulau Terluar. Majelis hakim juga menyatakan tidak ada alasan untuk memaafkan terdakwa, serta tidak ada alasan pembenaran untuk perbuatan terdakwa.
"Dengan adanya perbuatan terdakwa, yakni menebang pohon mangrove tersebut dapat menyebabkan perubahan fungsi lingkungan dalam skala yang luas apabila dilakukan secara terus-menerus dan merusak lingkungan ekologis alam, terjadinya akumulasi pencemaran dan menurunkan kualitas air," demikian salah satu isi putusan majelis hakim seperti yang dimuat website Mahkamah Agung.
Sedangkan fungsi dari adanya pohon mangrove, masih menurut majelis hakim, adalah untuk mengurangi risiko bencana sebagai biofilter untuk penetralisir logam berat dan sebagai daerah pemijahan dan asuhan ikan serta biota lainnya. Selain itu, pohon tersebut juga sebagai penahan erosi dan abrasi yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak, sehingga dengan banyaknya fungsi pohon mangrove, pemerintah melarang adanya penebangan terhadap pohon mangrove.
Masih ingatkah Anda dengan kutipan berita di atas? Ya, berita
tersebut menunjukkan bahwa keadilan di Indonesia ini sangatlah buruk. Seorang kakek
berumur 48 tahun yang bekerja sebagai kuli pasir asal Desa Pesisir, Kecamatan
Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, divonis hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp
2 miliar oleh Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Jawa Timur, karena menebang 3
pohon mangrove yang akan digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak di
rumahnya. Sungguh kasus yang mencederai rasa keadilan terhadap masyarakat
kecil.
Bahkan
, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sebenarnya sudah cukup ringan karena
merupakan vonis minimal atau ringan. Sekarang Susilowati (58), istri Busrin,
kini menggantikan suaminya untuk menghidupi keluarganya sendiri, sejak Busrin
mendekam di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Probolinggo. Tak
tega melihat Susilowati banting tulang memenuhi kehidupan keluarganya, kerabat
Busrin bergantian membantu kebutuhan sehari-hari.
Sangat miris sekali melihat keadilan yang seperti ini. Apalagi jika
membandingkan dengan para penjabat yang benar-benar terbukti bersalah melakukan
korupsi uang rakyat hingga miliaran rupiah, namun vonis hukumannya tidak lebih
dari 5 tahun. Keadilan di negeri ini ternyata memang tumpul ke atas dan tajam
ke bawah. Orang yang memiliki banyak uang dapat meringanan hukumannya bahkan
serasa tidak dihukum. Sedangkan orang yang lemah hanya bias pasrah, bahkan
perkataan-perkataannya pun tidak akan di dengarkan, karena hanya uanglah yang
dapat berbicara pada hukum kita.
Semoga keadilan di negeri ini dapat dilakukan dengan
seadil-adilnya tanpa ada yang melihat posisi orang tersebut. Saya harap tidak
ada lagi kejadian-kejadian seperti yang terjadi pada kakek Busrin. Terima Kasih...