Rabu, 30 Desember 2015

[TUGAS ISD] Keadaan Lingkungan Di Sekitar Rumah

Di lingkungan sekitar rumah saya cukup nyaman tetangga-tetangganya pun ramah dan baik-baik walaupun saya jarang berkomunikasi dengan tetangga, saya bisa tahu karena orang tua melihat mereka saat mengobrol dengan orang tua saya. Saat siang hari memang sepi mungkin karena banyak yang beraktifitas tapi ketika sore hari tiba banyak anak-anak kecil bermain bola di jalan, Serta sering kali banyak pedagang yang lewat di depan rumah saya yang berjualan ada nasi goreng, ketoprak, mi ayam, dll. Saat malam tiba sudah banyak bapak-bapak duduk dan mengobrol di dekat rumah sambil bemain catur dan minum secangkir kopi. Kalo saya pribadi malah jarang sekali bermain di sekitar rumah saya entah kenapa mungkin karena saya belum terlalu kenal dengan orang-orangnya.

Kalau melihat dari sudut kebersihannya saya kira lingkungan sekitar rumah saya tidak begitu parah tetapi ada sedikit-sedikitlah yang menganggu mata, tak lain dan tak bukan yaitu gotnya (selokan) tak ada kata lain ketika melihat gotnya yaitu HITAM. Kalo saya lihat memang rata-rata got di sekitar jalanan  seperti itu (maaf jika salah). Tetapi saya senang dengan orang-orang di sini, setiap rumah sekarang sudah mebuat tempat sampah sendiri di depan rumah masing-masing.
Jadi intinya kalo mau lingkungan bersih maka bergeraklah dan jangan hanya menuntut ingin bersih tetapi selalu buang sampah sembarangan.
sekian.

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH TENTANG "MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PENDESAAN DENGAN SEGALA PROBLEMATIKANYA."

MAKALAH MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PENDESAAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang 
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat – atau tidak dibuat – oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

Perkataan society datang daripada bahasa Latin societas, “perhubungan baik dengan orang lain”. Perkataan societas diambil dari socius yang bererti “teman”, maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna telah tersirat dalam kata masyarakat bahawa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan dan matlamat yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan rakyat sesebuah negara.

Walaupun setiap masyarakat itu berbeza, namun cara ia musnah adalah selalunya sama: penipuan, pencurian, keganasan, peperangan dan juga kadangkala penghapusan etnik jika perasaan perkauman itu timbul. Masyarakat yang baru akan muncul daripada sesiapa yang masih bersama, ataupun daripada sesiapa yang tinggal.

B. Rumusan Masalah
Masyarakat desa dengan kota sering menjadi perdebatan dalam hal perbedaan maupun interaksi. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipahami dan dimengerti tentang masyarakat desa dan kota yaitu:
  1. Apa pengertian masyarakat?
  2. Apa ciri-ciri sosial masyarakat pedesaan dan mayarakat pekotaan?
  3. Apa saja perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan?
  4. Bagaimana hubungan Kota-Desa?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris disebut  Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran  hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.

B.  Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)

a.      Pengertian desa/pedesaan
Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. 

Sedang menurut Paul H. Landis :Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut :
a)  Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
b)  Ada pertalian perasaan yang sama  tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c)  Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan

Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.

Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun.

Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.

Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep :”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.

1.      Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut :
a.    Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan  tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain  dan menolongnya tanpa pamrih. 
b.    Orientasi kolektifsifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c.    Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme).
d.    Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e.    Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

C.  Masyarakat Perkotaan 
a.   Pengertian Kota
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini.

i.  Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.

ii. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.

iii. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih. Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.

Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut  Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri  :
a).   Netral Afektif
Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
b).   Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
c).   Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.
d).   Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima  berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
e).   Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.

1.      Ciri-ciri masyarakat Perkotaan 
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :
1.         Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
2.         Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
3.         Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4.         Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
5.         Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
6.         Perubahan-perubahan tampak nyata  dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

D.  Perbedaan antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:

Masyarakat Pedesaan
Masyarakat Kota
Perilaku homogen
Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
Isolasi sosial, sehingga statik
Kesatuan dan keutuhan kultural
Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
Kolektivisme
Perilaku heterogen
Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
Mobilitas sosial, sehingga dinamik
Kebauran dan diversifikasi kultural
Birokrasi fungsional dan nilai-nilai secular
Individualisme

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja.

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.

Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan  sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.

Ciri ciri tersebut antara lain :
1)     jumlah dan kepadatan penduduk
2)     lingkungan hidup
3)     mata pencaharian
4)     corak kehidupan sosial
5)     stratifiksi sosial
6)     mobilitas sosial
7)     pola interaksi sosial
8)     solidaritas sosial
9)     kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional

E.  Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.

“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.

Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:
a)         Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam.
b)        Invasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan.
c)         Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi.
d)        ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.

Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota  yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).

b)     Sebab-sebab Urbanisasi
1.)    Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors)
2.)    Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota (pull factors)
  • Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :
  1. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
  2. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
  3. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
  4. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
  5. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
  • Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :
  1. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota  banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
  2. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
  3. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
  4. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
  5. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Manusia menjalani  kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya : “ Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ( bersosialisasi ).….” (Al-Hujurat :13 ). Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong  atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial,  yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.

Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang  dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.

B.  Saran – saran
Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius.  Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.
Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari
Marwanto, 12 November 2006. Jangan bunuh desa kami. Jakarta:Kompas
_______, 1994. Sosiologi 3 SMU. Jakarta: Yudistira


Sosiologi 3 SMU 1994, hal. 68
Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, 2003, Hal.241
Kompas, Minggu 12 November 2006 (Jangan bunuh desa kami) oleh Marwanto
Sosiologi 3 SMU 1994, hal. 70
H..E Kosim, STBA Yapari Bandung, 1996, Hal. 97
Rr. Tjahjani Busono, MS Barliana, dan Johar Maknun, Perubahan Sosial di Desa Asal Migran Tenaga Kerja Wanita, Hal. 2-3
H.E Kosim, STBA Yapari Bandung, 1996, Hal. 99

Rabu, 18 November 2015

MAKALAH TENTANG “PERKEMBANGAN GENERASI MUDA DAN PROBLEMATIKANYA DALAM MASYARAKAT”




PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP GENERASI MUDA

BAB I
                                                              PENDAHULUAN                                    


A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa, jika pendidikan tidak berjalan dengan semestinya maka pembangunan tidak akan terlaksana, atau bahkan dapat mengakibatkan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan media pembangunan yang memiliki posisi strategis dalam mengintegrasikan dan mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi sosialisasi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma dan nilai dalam masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi.
Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang sedang melakukan pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, namun dalam perjalanannya timbul berbagai penyimpangan dan masalah-masalah didalam proses perealisasiannya. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih sangat rendah, hal ini dibuktikan dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kapita yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Masalah pendidikan di indonesia bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa. Banyak masyarakat mempertanyakan kinerja pendidikan dengan pandangan sekeptis, namun kita juga tidak bisa menyalahkan lembaga pendidikan karena sebagai masyarakat kita juga memiliki andil yang besar dalam proses pendidikan.
Berbicara mengenai masalah-masalah pendidikan tentunya tiada habisnya, namun kita sebagai generasi muda harus memiliki sikap kritis dalam membaca realitas yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan mungupayakan pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut. Upaya perbaikan tersebut sangat diperlukan dalam rangka membangun intelektual yang mandiri dalam pembangunan dan bersaing dalam masyarakat global. Bukan saja dalam membangun kecerdasan intelektual tetapi juga membangun kecerdasan emosional dan spiritual generasi muda.
       
 B. Rumusan Masalah
  1. Masalah apa saja yang dapat timbul dalam proses   perealisasian pendidikan?
  2. Dimanakah posisi masyarakat dan orang tua dalam proses pendidikan?
  3.  Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong timbulnya masalah dalam pendidikan?
  4. Bagaimanakah cara mengatasi dan meminimalisir masalah-masalah dalam pendidikan?
        
C. Tujuan Dibuatnya Makalah
Adapun tujuan penulis membuat makalah sosiologi pendidikan yang bertemakan “ Problematika pendidikan dan dampaknya terhadap generasi muda” adalah:
  1. Menjelaskan permasalahan pendidikan dan upaya-upaya untuk menanggulanginya
  2. Menjadi sarana belajar bagi mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan  yang ada didalam masyarakat
  3. Sebagai instrumen belajar mahasiswa dalam menganalisis relitas dengan menggunakan teori-teori sosial
  4. Sebagai sarana dalam mempelajari masalah pendidikan secara mendalam dengan melibatkan struktur sang saling terkait.
       
D. Landasan Teori
Teori yang kami gunakan dalam menganalisis makalah ini adalah teori fungsional struktural, dimana makalah ini akan memaparkan masalah pendidikan secara sistematis dan saling berkaitan antara subsistem-subsistem dalam masyarakat. Pendidikan memiliki berbagai keterkaitan dengan sitem-sistem lainnya misalnya ekonomi, politik dan linkungan sosial. Sehingga didalam pengkajiannya membutuhkan berbagai pisau analisis yang multidimensional baik dari segi kebijakan kurikulum, output pendidikan, konsep pengajaran dan sebagainya.
Namun dalam mempertajam analis kami cenderung mengutamakan pendekatan teori konflik dan teori kritis yang dapat menelaah pendidikan secara mendalam. Dalam pengkajian permasalahan pendidikan lebih cocok menggunakan perspektif kritis ataupun konflik, dikarenakan pendekatan ini lebih cenderung memaparkan masalah-masalah pendidikan secara lebih mendalam dan menyeluruh.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. A.    Gambaran Umum Permasalahan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan suatu diskursus yang terpenting dan menempati posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi. Dalam sosiologi pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang pendidikan  dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan bukan hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga pendidikan formal (sekolah dan kampus/universitas) serta pendidikan dimasayarakat. Namun dalam makalah ini kami lebih mengutamakan pengkajian lembaga pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelebaran pokok pembahasan, selain itu pada umumnya lembaga pendidikan formal memiliki peran terbesar dalam pembentukan karakter pelajar hal ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar dalam kehidupan sehari-harinya.
Kenakalan remaja (jevenile delinquency) bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan  pelajar atau siswa, melainkan kenakalan remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan representasi dari masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim.
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagaimana sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah keseluruhan cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu” (Durkheim, 1895/1982:13).
Dari pernyataan Durkheim itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa, tejadinya  menyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang terjadi diluar individu ( pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya). Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi merupakan hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Terdapat pelbagai penyebab munculnya masalah pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonesia antara lain:
  1. 1.      Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal. pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan bagaimana lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:
  1. a.      Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini. Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat pemilu saja.
  1. b.      Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium, perpustakaan,  ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya,  pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini, di UIN Sunan Kalijaga misalnya hanya terdapat tenis indor, lapangan futsal itupun tersedia digunakan seara inklusif untuk ornag-orang tertentu saja.
  1. 2.      Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan aturan dalam mengawasi mutu pendidikan suatu negara. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu pendidikan sebagai alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan standar-standar pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan salah satu realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan. kurikulum merupakan program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat. Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah dalam langkah teoretis dan cenderung mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian Nasional (UN) dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai merauke ini justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia yang sangat jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta ataupun jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan kelulusan yang hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia kurang mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin pelajar. Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada menumbuhkan pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari rancun dan kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang semakin meningkat. Menurut data ??. hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu melainkan doktrianasi ilmu
  1. 3.      Pendeskreditan Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan suatu hal yang sangat pendting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat untuk mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan Durkheim mengkaji  moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya tidak akan hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu bentuk kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung menghambat perkembangan masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus moralitas dalam pendidikan indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya dilakukan sesama murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik kepada murid sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini mengganggu perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi kriminalitas dan kekerasan kepada siswa yang. Misalnya saja kasus IPDN, dengan alasan meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk menyiksa juniornya yang telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti klif muntu. Sehingga pendidikan moral, baik menggunakan instrumen agama ataupun sosialisasi moralitas seperti menanamkan sifat disiplin, jujur, kreatif, dan sebagainya secara partisipatif sangat diperlukan.
  1. 4.      Liberalisasi Pendidikan
Jika kita melihat sejarah kebelakang, sebenarnya liberalisme merupakan tahap perkembangan lanjut dari penjajahan negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah domonasi eksploitasi ini  dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut dengan masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme di eropa untuk memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa neokolonialisme dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan secara substantif melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup global tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta teknologi, sehingga liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara maju. Perkawinan antara globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan monopoli-monopoli perusahan besar TNC (Trans Nasional Coorporation) TMC (Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi saja yang mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan mengikuti “Konsesus Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah, pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama liberalisasi. Liberalisasi pendidikan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian besar tidak miskin ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status quo bagi orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan liberalisasi dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu bentuk kebijakan pembodohan massal terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan masyarakat miskin jika pendidikan semakin mahal?.
  1. B.     Wacana Reformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan merupakan upaya dalam memperbaiki dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika pendidikan tidak segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas pendidikan dan akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis  konstruktif, terbuka, dan emansipatif. Pendidikan  kritis merupakan solusi terbaik dalam memperbaiki pendidikan, lalu kemudian timbul pertanyaan kenapa harus pendidikan kritis! karena pendidikan kritis bertujuan untuk mengaitkan antara teori dan praksis serta memanusiakan manusia.
Dalam hal ini tentunya kita tidak boleh terjebak pada idiologi marxisme, dalam mengkonstruksi pendidikan kritis kita harus membebaskan diri dari segala kepentingan, dan lebih mengutamakan kesejahteraan bersama. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antaralain:
  1. 1.      Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.
  1. Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
  1. Sarana non fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan soft ware dalam komputer, jika soft ware ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
  1. Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan sebagainya.
Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
  1. Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian siswa. Di kampus UIN misalnya jurun sosiologi belum memiliki lembaga penelitian dan lembaga diskusi mahasiswa, adapun lembaga diskusi resminya telah lama mati karena tidak adanya regenerasi yang baik. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
  1. 2.      Reformasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan jiwa dari lembaga pendidikan, jika dalam kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri. Pengembangan kurikulum diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak begitu saja menelan mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam pendidikan indonesia. Negeri jepang misalnya walaupun mempelajari bahan ajaran Barat namun mereka menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat.
Dalam kurikulum ini harusnya mengutamakan keadilan dan kesetaraan, tidak ada pengelompokan berdasarkan suku, agama, maupun golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi  masyarakat sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya tentunya negara mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran Perencanaan Belanja Negara 20% untuk pendidikan harus diawasi dan direalisasikan perwujudannya sehingga bukan hanya menjadi wacana politik saja.
  1. Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti diskriminasi
Pendidikan yang saat ini masih terlibat dengan berbagai diskriminasi dan ekskluisasi terhadap pelajar. Sehingga kadangkala masyarakat memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat untuk mobilitas sosial dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya. Anak-anak pemilik modal lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada masyarakat miskin sehingga timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan.
Pendidikan inklusif didiasarkan pada beberapa prinsip dasar antara lain:
Pertama, setiap orang secara inheren punya hak terhadap pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang diamanatkan UU, jadi tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin. Kedua, tidak boleh ada siswa yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam pendidikan dengan berbagai alasan apapun, baik dari ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain sebagainya. Ketiga, semua anak pada dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan, sehingga pendidikan bertugas mengembangkan potensi otak anak. Keempat, sarana dan prasarana disediakan pemerintah dari pajak. Kelima, pandangan dan opini peserta didik harus didengarkan dan diperhatikan (demokrasi pendidikan). Keenam, perbadaan individu merupakan suatu anugrah, sehingga guru harus mencari pendekatan karakteristik dan kompetensi peserta didik. Ketujuh, pendidikan bukanlah asimilasi tetapi apresiasi perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan secara kontinyu bukannya instan.
Selain itu pendidikan juga harus lebih mengutamakan langkah praksis dengan mencetak generasi  muda yang mandiri dan dapat mengolah sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja bukan hanya mencetak mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu ditingkatkan sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat. Mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan secara kontinyu dan intensif.
BAB III
KESIMPULAN

Tejadinya  menyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan  pelajar atau siswa, melainkan penyimpangan ini muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah sebagian dampak kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Masalah pendidikan di Indonesia bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa. Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita untuk cenderung menyalahkan pendidikan, karena kita sendiri memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses pendidikan.
Dalam memperbaiki maslah pendidikan itu dapat dilakukan dengan cara mereformasi kurikulum yang lebih merakyat, menyediakan sarana, prasarana, menjalankan pendidikan antri diskriminasi, dan sebaginya. Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu, memperjuankan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar sosial dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin dkk. 2006. Sosiologi Reflektif. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah, alimandan. Jakarta: Rajawali press
Kompas, Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar 
A. Ferry T. Indriarto. 2007. Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas
Nuryanto Agus. 2010. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book
Maragustam, 2010, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna ; Filsafat Pendidiakan. Yogyakarta : Nuha Litera

Amin Abdullah dkk, Sosiologi Reflektif ( Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006). Hlm 107
George Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi (New York: McGraw-Hill, 2004).  81
Kompas, Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar  
A. Ferry T. Indriarto, Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (jakarta: Kompas 2007), hlm 108
M Agus Nuryanto Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2010). Hal. 73